Meluruskan niat sebelum menulis buku - Blog Ridwan Nurhadi

Breaking

Berbagi tak pernah Rugi

Rabu, 20 Januari 2021

Meluruskan niat sebelum menulis buku

  




Pertama kali saya menulis buku, alhamdulillah buku tersebut mampu menembus penerbit mayor. Tak tangung-tanggung buku saya langsung dicetak 4.100 eksemplar dan didistribusikan ke toko-toko buku besar di seluruh Indonesia seperti; Gramedia, Pustaka 2000 bahkan sampai ke gunung yakni Gunung Agung. Ada kebanggaan saat menemukan buku kita di rak-rak toko buku tersebut.  Apalagi bayangan keuntungan dari royalti.

Ternyata mengharapkan keuntungan dari royalti adalah kesalahan besar, buku saya dicetak 4000 eksemplar dengan harga modal Rp. 17.000 dengan begitu harga jual biasanya 2 x lipat yakni Rp. 35.000 itu berarti royalti saya hanya sekitar Rp. 3.500 dan dalam setahun laku 1000 buku dalam artian royalti saya setahun hanya Rp. 3.500.000 ribu. 

Sistem royalti memang kadang tidak menguntungkan penulis, namun kita harus memahami penerbit juga memiliki resiko tinggi dengan mencetak buku dengan jumlah ribuan. Mereka juga harus melakukan promosi dan membayar gaji karyawan.

Saya juga pernah mencoba menerbitkan buku dengan sistem putus yakni, investasi diawal dengan mencetak buku 1000 lalu mencoba masuk ke jalur distribusi Gramedia di Jakarta timur. Meskipun prosesnya tidak mudah alhamdulillah bisa tembus, namun dengan sistem konsinyasi mau tidak mau untuk balik modal agak lama.

Jika kita orientasi rupiah dalam berkarya maka kita akan kecewa, apalagi jika buku kita memerlukan biaya awal untuk melakukan riset. Beberapa penulis besar seperti Andrea Hirata, Tere Liye dan lain sebagainya pun kaya bukan karena royalti, namun karena buku mereka difilmkan. Mereka berduapun selain berstatus novelis mereka juga memiliki pekerjaan utama, Andrea Hirata sebagai staf Telkom dan Darwis bekerja sebagai akuntan.

Kalau tidak kaya lalu kenapa kita menulis buku?

  1. Buku kita adalah amal jariyah kita, kita bisa mati namun tulisan kita tetap hidup. Tulisan yang menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan akan berbuah pahala yang akan mengalir terus meski kita telah tiada. Hasan Al Banna misalnya, beliau seorang dai dan penulis buku, paska beliau wafat bukunya malah diterbitkan di 14 negara di dunia. Orangnya telah tiada namun karyanya tetap ada.
  2. Buku adalah karya yang melegitimasi kita pernah berfikir. seberapapun cerdasnya kita kalau belum menghasilkan satu buah buku maka rasanya belum afdhol kata orang sunda. Buku bisa jadi alat branding diri kita. Apalagi jika profesi kita sebagai seorang guru, masa sih guru belum pernah menulis buku?.
  3. Buku kita adalah bingkisan yang paling berharga, biasanya saya memberikan kado dalam bentuk buku yang saya tanda tangani dan itu membawa efek luar biasa. Padahal harga buku tak seberapa. bisa jadi harga buku itu modalnya cuma 50 ribu namun terasa sangat berharga ketika buku yang kita berikan kepada seseorang merupakan hasil karya kita. 
  4. Buku bisa jadi alat barter kita, di grup penulis kita tak perlu membeli buku mereka, namun  juga bisa melakukan barter dan itulah yang saya lakukan dengan melakukan barter sesama penulis. Jangan lupa tulis nama dan dibubuhi tanda tangan. Itu akan jauh lebih berkesan.

Kelak suatu saat, anak atau cucu kita merapihkan rak buku dan melihat ternyata kakek dan nenekku adalah seorang penulis bukan pelaut. Dari sana kita mewarisi karya meski kita telah tiada namun anak cucu kita dapat menapaki tulisan-tulisan yang kita buat.

Jadi menulislah, karena menulis itu adalah tamasya.

Menulislah karena dengan menulis engkau merasa bahagia.

Namun yang paling penting, meluruskan niat sebelum menulis.


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar